Belajar Memahami

https://pin.it/2JqeoJs

Saya sedang belajar memahami sifat manusia yang sungguh berbeda-beda, mereka punya tabiat yang baik tapi tentu, ada juga buruknya. Semua perilaku manusia tidak akan pernah lekat dari pengawasan orang lain. Tapi, apakah mereka selalu mempertanyakan dalam dirinya setiap perilaku yang dilakukannya? Misalkan saja sifat selalu mengomentari orang, apakah menurutnya itu baik atau buruk untuk dilakukakannya.


Akhir-akhir ini, saya banyak bertanya dalam diri,persoalan sifat manusia yang selalu berkomentar tentu saja bukan blak-blakan di depan kita tetapi justru dari belakang, ketika kita tidak ada disekumpulan mereka. Apakah saya menjadi salah satu bahan pembicaraan mereka? Tapi topik apa, kesalahan yang mana dan masih banyak lagi yang saya piirkan, tapi sekecil apapun itu dan setidak penting apapun itu saya pasti menjadi salah satu dari topik pembicaraan mereka, ketika tidak ada di tempat.


Saya sudah menganalisis beberapa, misalkan saja di suatu tempat yang bisa jadi setiap hari saya ada di sana, seandainya saja menyampaikan sesuatu adalah hobi saya, maka semua orang pasti sudah bertengkar atau tidak saling menyapa. Mengapa seperti itu? Karena sifat dan kebiasaan saling mengomentari itu, mengomentari si A ketika tidak ada di tempat, si A datang mengomentari si B yang tidak ada di tempat, begitu seterusnya, dan pertanyaan saya sampai kapan semua itu berakhir? Apakah tidak ada hal lain untuk dijadikan topik pembicaraan selain mengomentari seseorang, dan mengesampingkan kesalahan pribadi?


Sekarang saya juga mengomentari perilaku mereka lewat tulisan ini, karena semuanya seperti sudah terkumpul di pikiran saya, menjadi beban yang tidak kunjung hilang, di sini, selain menulis saya hanya bisa terdiam dan tersenyum dengan sifat kita yang sungguh berbeda-beda.

Rahasia

https://pin.it/4lMMHPp

Jika ada kabar bahagia ataupun sedikit duka dari saya, bukannya tidak mau membagikan tapi untuk apa? Memang banyak solusi tapi lebih banyak yang membebankan. Memang kita tidak bisa hidup tanpa campur tangan atau ocehan orang lain, tapi alangkah baiknya menghidari itu jika dapat pusingnya saja. Saya pikir lebih banyak yang mereka tahu tentang saya lebih banyak pula mereka mengurusi kehidupan saya, tapi seandainya solusi yang ditawarkan mereka-mereka itu dapat membuat lebih baik, tampaknya bagus. Tapi saya pikir lebih banyak solusi-solusi mitos dan tidak masuk diakal dan hati nurani saya. Jadi saya pikir merahasiakan sesuatu lebih baik, bagaimana dengan kalian?

Untuk sesuatu yang membahagiakan, saya pernah menyampaikan beberapa, dan seolah banyak doa-doa dari ocehan kosong mereka lalu, seolah menjadi malah petaka lewat mitos yang mereka sampaikan lagi kepada saya, dan jangan sampai akan saya sampaikan lagi kegenerasi saya secara tidak segaja. Lalu kebahagian itu sirna menjadi luka mendalam dan sedikit trauma, setelah menjadi luka. Mereka bertambah lagi kegilahanya karena kini menjadi beban lagi bagi saya, menyalahkan saya, begitu tidak mengertinya dengan pemikiran kulotnya. Kemudian timbul di hati saya kebencian pada mereka, saya kembali menyalahkan diri dan merasa berdosa kepada Tuhan karena telah membenci umatNya. Saya merasa akan mendapatkan bahaya jika tidak memaafkan, lalu saya memaksa hati untuk memaafkan dengan begitu mudah. Begitu seterusnya dalam keberlangsungan hidup saya.

Sedikit saya membayangkan hidup, jika tanpa ocehan mereka, bagaimana yah? Sebagaimana bahagianya? Ahh sudahlah namanya juga hidup, yang lebih baik adalah menceritakannya lewat tulisan ini lebih melegahkan daripada menceritakan ini kepada orang-orang yang suka mengurusi hidup yang hanya melihat sekian tipis kulit luar dari kehidupan saya. Sekian.

Keinginan Tak Terbatas, Kita yang Terbatas

https://pin.it/2Yo4EJg

Setelah mengunjungi kembali apa yang pernah saya tulis, saya tersadar bahwa capaian hari ini terbentuk dari perjalanan yang kita pilih di masa lalu. Doa-doa yang dilantunkan beberapa tahun silam telah terwujud beberapa. Bukan kebetulan, dan bukan pula itu semua terbentuk begitu saja, melainkan hanya bentuk dari kegigihan dan semangat kita sekecil apapun itu. Menjadi apa yang kita inginkan tidak selalu membahagiakan atau memuaskan ternyata, itu adalah bagian dari perjalanan lagi dan lagi. Ada lagi yang ingin di capai setelah itu.

Mungkin semua yang kita capai atas doa sebelumnya hanya melegahkan saja. Kita akan mendapati banyak keinginan kembali dan saya rasa itu bukan sesuatu yang melelahkan tapi cukup unik tinggal bagaimana cara kita mengelolah keinginan itu. Hal itu menujukkan hidup kita berjalan dan akan terus berprogres karena keinginan kita yang tidak terbatas, tapi hanya waktu kita yang terbatas. Ketika mendapati keinginan yang berlebih yang mungkin saja sudah keluar dari batas kemampuan kita, maka saran saya atau baiknya semua itu harus dikontrol karena kita juga punya batas kemampuan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, keinginan tidak terbatas tapi kemampuan kita juga terbatas.

Saya selama ini berusaha mewujudkan keinginan secara perlahan. Membiarkannya berjalan lambat, juga kadang tidak tahu apa akan terwujud atau tidak. Tapi percaya dengan semuanya, jika kita benar-benar ingin semesta juga pasti mengijinkan kita menggapai apa yang kita inginkan.

Kenangan dan Sebuah Harapan

Hi-five sudah layaknya teman nyaman bagi saya, dulu kita sangat sering bermain game, saya sudah sedikit lupa. Kalau tidak salah tebak kata, tapi secara online. Teman-teman hi-five sangat hebat dalam menebak, tapi tidak dengan takdir dan jodoh mereka ke depannya. Kita selalu menyisihkan waktu untuk menulis projek-projek yang katanya sepele.

Beberapa bulan vakum, saya iseng buka blok mengenang tulisan saya. Mata saya tertuju pada projek-projek kita sebelumnya. Tulisan lama yang jika saya baca ulang, sedikit bangga dengan diri sendiri karena sudah menyempatkan diri menulis. Beberapa di ambil dari kisah nyata membuat saya seakan mengulang masa lalu, meski kita tahu mesin waktu hanya harapan, ia hanya berlalu tidak untuk mengulangi.

Saya kembali mengirim chat di grup Hi-five dan menanyakan apakah ada projek lagi. Dengan senang hati mereka sangat mau.

Ke depannya banyak doa yang baik-baik. Semoga hi-five menjadi diri sendiri seperti apa yang kita harapkan dan apa yang akan kita rencanakan. Hi-five selalu kompak dalam segala hal. Semoga projek-projek sepele kita dapat diterima dan dinikmati orang-orang dengan baik.

Senja dan Rasa

https://pin.it/6amtgYj

“Kau ingat?” Katanya sambil tersenyum.

Ketika dia bertanya, kita bahkan seperti mengulang lagi kejadian itu. Sesuatu yang menurutku romantis tapi dalam kesederhanaan. Tidak terlalu berlebihan dan dibuat-buat.

Waktu itu sekitar pukul 5 sore, dia menjemputku dengan sepedanya. Kita sudah berjanjian untuk menikmati senja di tepi dermaga. Di sana kita banyak bercerita, yah tentu saja soal rasa. Dia memperjelas apakah dia benar-benar pilihanku. Aku mengiyakan dan tersipu malu dengan pertanyaannya itu. Di sana kita saling memahami perasaan dan selalu tersenyum karena rasanya menemukan tempat baru dan nyaman.

Kami berjalan beriringan sambil bercerita, di sana seakan kami hanya berdua padahal banyak orang di sekeliling kami. Mulai saat itu aku senang menulis puisi bertema senja, dia juga suka menyanyikan lagu yang berkaitan dengan senja, karena kita selalu mengenang pertemuan itu.

Terpaan angin yang kencang mengiringi terbenamnya matahari, membuatnya melepaskan kemeja untuk di berikan kepadaku.

“Yah, sangat jelas dalam ingatanku.” Aku tersenyum lagi mengenang pertemuan kita beberapa tahun silam.

Tentang Pelajaran Hidup, Untuk Adikku

Kita seharusnya menjadi cinta yang saling menghargai, tumbuh dalam banyak duka Senang dengan banyak suka, boleh dia tahu bahwa hidup adalah pelajaran, hidup boleh sulit tetapi kita ada untuk merangkul, harus dia tahu bahwa arahan tentu bukan perintah, kadang mengarahkan tujuannya hanya menujukkan bagaimana tumbuh yang sebenarnya, dan tentang bagaimana dia bisa belajar dengan baik, kakak tidak minta hormat dan patuh, cukup mengambil pelajaran baik dan bahagia adalah tujuan.

Terima Kasih Untuk Diriku

Saat bercermin, pikiranku bagaikan berputar sampai ke masa lalu. Aku melihat putri kecil yang memiliki rambut yang potongannya cukup ngetren saat itu, kalau kata orang-orang di kampung potongan rambut segi empat, sedang yang ada dicermin tak bersegi empat. Entah mengapa dinamakan potongan segi empat, ahh kalau seperti itu aku teringat rumus luas kubus.

Di masa lalu aku melihat putri kecil yang sangat kuat dan sepertinya pun sampai sekarang. Selepas masalah yang aku hadapi, dulu aku tidak pernah sedikitpun menyesali hal yang terjadi dalam hidup. Kadang hanya sedikit merasa kecewa tapi selebihnya aku berusaha untuk tetap kuat dan tegar. Karena sudah sepatutnya bagi putri sulung memberikan contoh yang baik kepada adiknya.

Hai, aku dulu adalah anak yang rajin bekerja, begitupun dengan menabung. Tapi heran mengapa sekarang semangat kerjaku begitu menurun. Kalau dihitung saat masih kanak-kanak aku sudah bekerja di beberapa tempat. Aku bisa mengasilkan uang dari hasil kerjaku. Beberapa bidang usaha akulah karyawannya, yah saat dulu. Pastinya kerjaan itu tidak membutuhkan ijazah. Justru sekarang sudah punya ijazah tapi belum bekerja. Aku benar-benar bangga dengan diriku yang dulu. Aku pekerja keras, bahkan aku senang untuk mencari ikan di empang saat si empunya empang sengaja menyurutkan air di empangnya, dan memanggil warga kampung untuk mencari ikan di sana.

Satu hal yang paling aku sesali semasa kecil adalah saat memasak telur hasilnya setengah matang. Alhasil karena pikiranku masih kanak-kanak kupikir telur itu masih mentah jadi aku buang. Alasan aku membuang telur itu juga sangat tidak masuk akal, hanya karena takut kena marah oleh Alm. Nenek. Karena sore itu sepertinya nenek segera tiba dari sawah maka secepatnya jejak-jejak memasak telur aku sembunyikan atau bahkan menghilangkannya. Mulai dari membuang telurnya dan mencuci panci yang kugunakan memasak telur. Meman diriku sangat keliru saat itu.

Saat kecil, aku begitu banyak mengenang kerinduan, kepada orang tua karena sedari kecil aku hanya tinggal bersama nenek. Tetapi karena nenek yang begitu baik mengurusku bahkan sigap memarahi mereka yang mengangguku. Kerinduan pada orang tua sedikit terhapus. Nenek siap menyiapkan jajan ketika pagi, menyiapkan sarapan saat hedak ke sekolah. Sekarang aku begitu banyak menyimpan kerinduan untuk nenek, hanya bisa mengirimkan Al-fatihah untuk nenek.

Diriku yang dulu memang banyak mendapati hal yang pedih. Tapi, itulah yang membuatku tegar sampai sekarang, satu hal yang aku risaukan dalam diriku yang dulu sampai sekarang pun, aku adalah seorang yang tidak mudah memaafkan, aku adalah seorang yang begitu dalam menyimpan benci saat disakiti oleh seseorang. Bahkan sampai sekarang aku masih mengenang bagaimana aku di bully karena tas yang robek semasa SD, dan yah kalau boleh kukatakan nenek adalah pahlawanku. Aku juga masih mengenang bagaimana dicemooh karena tidak punya orang tua yang utuh. Sampai sekarang aku masih mengenang bagaimana marahnya mereka kepadaku, bagaimana raut wajah mereka yang membenciku. Sungguh aku adalah anak yang paling mengenang kebencian itu.

Diriku yang dulu persoalaan tegar adalah cerminan diriku yang sekarang, untuk bebera hal mungkin tidak lagi ada pada pribadiku, tapi aku yakin tubuh dengan apa adanya dan tidak menuntut disukai banyak orang lain adalah pilihanku. Untuk diriku yang sekarang lakukanlah hal yang terbaik versimu.

Terima kasih untuk diriku yang selalu kuat dari waktu ke waktu.

Dear Liza

Dear Liza, kalau bisa diceritakan pasti kita sedang dalam kerinduan yang berat kepada sahabat-sahabat. Bagaimana tidak, sedang kita mengenang banyak hal masa-masa perkuliahan hingga kini, kita jauh tak terjama oleh tangan. Dulu, saat jauh dari keluarga sahabatlah tempat terbaik untuk kita bercerita. Rasanya kita tidak pernah ada pertengkaran dalam hal kecil maupun hal besar, hal makanan, tempat tidur, ataupun bantal, kita saling menghargai pendapat masing-masing.

aku masih mengenang saat di tempat kos dulu, aku selalu menggunakan bantalmu, yang berbentuk monyet itu. Katamu kau tidak suka menggunakan bantal saat tidur. Kadang aku juga menggunkan bantal Lina, thanks kalian karena telah meminjamkan bantal. Dulu saat ngekos aku memang tidak suka membawa banyak barang, karena kupikir bagaimana mengembalikannya nanti.

Saat ini kita sangat jarang berkomunikasi secara pribadi, tapi semoga di grup hi-five kita menjaga komunikasi, begitupun dengan sahabat-sahabat yang lain. Tidak banyak yang harus kukatakan untuk seorang Liza, selain tetap menjaga perasaan untuk si dia.

Mesin Waktu

Sudah beberapa bulan lamanya, aku cukup sering mendengarkan alunan musik serta meresapi lirik yang penuh makna dalam lagu itu. Biasanya seseorang mendengarkan lagu dalam perasaan tertentu, sedang senangkah atau sedang sedih. Seorang pendengar lain menulis di kolom komentar kanal youtube milik Budi Doremi “seseorang yang sedih akan memaknai liriknya, dan seseorang yang sedang senang menikmati musiknya” Tapi aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat mendengarkan lagu itu.

Temanku Adel memutarkan musik kesukaanku, kukira aku tak akan ikut bernyanyi tapi baru saja masuk intro aku sudah ingin mendahului penyanyinya.

kalau harus ku mengingatnu lagi aku takan sanggup, dengan yang terjadi pada kita, jika melupakanmu hal yang mudah, ini takan berat, takan membuat hatiku lelah

Nikmat dan indah sekali liriknya, aku sampai terhanyut menengang banyak hal dalam hidupku, mengenang perpisahan, kepergian orang-orang tersayang dalam hidupku. Seperti yang kukatakan sebelumnya temanku Adel adalah pendengar terbaik, setiap saat dan setiap sudut rumahku aku selalu bersamanya menceritakan kepahitan yang harus terpaksa kujalani.

Indahnya lagit malam ini, membuat kita memutuskan untuk menghabis malam sambil bercerita di teras rumah menikmati angin yang menerpah rambut dan menyejukkan perasaanku.

“Mesin waktu” yang dinyanyikan Budi Doremi membuat aku dan Adel terhanyut. Yah, bahkan membuat kami tersadar bahwa mesin waktu hanya “Andai” tidak benar-benar ada, tidak benar-benar bisa mengubah dan mengulang masa lalu, kita hanya bisa menenrima.

Broken Home

“Barangkali mesin waktu hanyalah dongeng yang selamanya hanya menjadi angan-angan manusia. namun, ia tidak benar-benar butuh mesin waktu, toh selembar foto digengamannya sudah cukup membuatnya merasakan waktu bergulir dan membawanya kembali ke sepuluh tahun lalu.”

Tepat hari kamis aku mengucapkan kalimat sepeleh itu kepada seorang teman. Beberapa anak indie menyairkan “kamis manis, untuk si manis”. Tapi kepahitan hidup tak akan merubah hari kamis ini menjadi manis, hanya amis. Temanku ini seorang pendengar terbaik, seandainya tempat ini adalah penyiaran radio, maka akan kuberi dia sertifikat no 1 pendengar terbaik sekabupaten, barang kali sertifikatnya bisa digunakan untuk membuat surat pendamping ijazah nanti.

“Lalu kau tak rindu dengannya?” Kata Adel

“Pastinnya rindu, tapi,,,” aku terdiam,  diam seribu  bahasa sambil mengipas-ngipaskan baju ke tubuhku karena hawa panas di dalam kamar ini membuatku tak bisa berfikir jernih. Baju yang sebelumnya aku gunakan untuk mengipas tubuhku, kini beralih menjadi sapu tangan, kugunakan untuk mengelap keringat dan air mataku.

“Memang seharusnya aku merindukan sosoknya, yah mereka, tepatnya. Untuk apa menyimpan kebencian pada mereka, toh dulu aku juga masih kanak-kanak, tetapi kepergian mereka tetap membekas sampai sekarang. Kepergian yang kubenci, kepergian yang membuatku seperti tak memiliki mereka sebelumnya”

Aku kembali terdiam, pendengar terbaikku ini super serius mendengarkanku.

“Seandainya mesin waktu berjalan mundur, atau bisa diantur sesuka hati, maka 10 tahun yang lalu akan kuperbaiki. Mereka tidak akan berpisah dan aku akan hidup bahagia seperti keluarga lain. Mereka berdua hanya pergi membawa secarik foto mungilku. Semoga itu menjadi pengobat rindu dan pengingat mereka.”